ISLAMISASI
ILMU PENGETAHUAN : STUDI PERBANDINGAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI DAN SYAD NAQUIB
AL-ATAS
Oleh : Alde Rado, S.PdI, MA
(Dosen STITNU Sakinah Dharmasraya)
I. Pendahuluan
Islam dan ilmu pengetahuan
adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat Muhammad. Islam
adalah agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik dari perjalanan
seoarang manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengeksplore,
menggali kekayaan yang tersembunyi di bumi ini.
Para pemikir Islam, telah
mengambil sikap untuk memadukan antara islam dan ilmu pengetahuan, yang
diantara tujuannya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan
memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya.
Konsep islamisasi ilmu
pengetahuan menurut Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi (studi
perbandingan) ini bertujuan untuk mengetahui konsep islamisasi ilmu pengetahuan
menurut pandangan Syed Naquib al-Attas dan juga konsep islamisasi ilmu
pengetahuan menurut pandanngan Ismail Raji al-Faruqi, selain itu juga untuk
mengetahui persamaan dan juga perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut.
Untuk lebih lanjutnya
penulis akan mencoba untuk menguraikannya pada pemebahasan berikutnya dengan
topik Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Studi Perbandingan Ismail Raji al-Faruqi
dan Syad Naquib al-Atas.
II. Pembahasan
A. Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization
of knowledge) merupakan sebuah ide atau gagasan yang muncul pada sekitar
awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Syed Naquib
al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi.
Islamisasi merupakan
sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)[1] yang di dalamnya terdapat
pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan
(theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki
pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[2]
Secara historis, ide atau gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia
yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi
yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150
makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan
rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang
direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini
antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya
yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and
the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam
makalahnya “Islamicizing social science.[3]
Kemudian gagasan tentang islamisasi
ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro
maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap
proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933),
Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi
ilmu.[4]
Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan
islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman,
Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan
hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan
memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata
bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab
sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Melihat dari pro kontra inilah
kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan
makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’
bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia
pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan
memahami tentang konsep yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan
dipopulerkan oleh Ismail Raji al- Faruqi tentang islamisasi.[5]
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin
Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931
di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang
terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan
ke 37 dari Nabi Muhammad SAW. Di dalam
buku Ramayulis dan Samsul Nizar dijelaskan bahwa al Attas termasuk orang yang
beruntung secara interen, sebab dari kedua belah pihak ayah dan ibunya merupakan
orang berdarah biru, ibunya asli bogor keturunan bangsawan sunda, ayahnya
bangsawan bogor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang
yang mendapat gelar tersebut merupakan ketrunan langsung dari nabi Muhammad
SAW.[6]
Secara umum, pendidikan al-Attas
bermula di Sukabumi (Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ
al-Attas masuk militer di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM)
di Singapura. Untuk selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh
gelar M.A dan Ph.D, masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada
dan University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan
metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, al-
Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.”
Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang
menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and
Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian
sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini,
pemerintah Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya
beasiswa untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill,
Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah
al-Attas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton
Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed
Hossein Nashr (Iran).[7]
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat
gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th
Century Acheh.” Dan selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas
bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih
gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan
kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi yang berjudul
Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut
telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.[8]
Dalam perjalanan karir akademiknya,
al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina
perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia,
baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970
al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian
Melayu. al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada
tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas
tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor
Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato
ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[9]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di
Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal
24 Mei 1986. Dalam kegiatan hidupnya
ia dikenal sebagai seorang yang berbahasa dua bertanah air dua (Palestina dan Amerika serikat).[10]
Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai
1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941 di The American
University, Beirut. Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan
pada tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana,
Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam
filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin,
membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia
meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir
profesionalnya sebagai guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di
Karachi dari tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia
kembali ke Amerika, al-Faruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah
agama di Universitas Chicago. Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi
permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada
Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968
untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang
didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986. Selain
mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic
Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di
berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun
1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist.
Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang
Ilmu-ilmu sosial Islam.
Beberapa karya penting Ismail Raji
al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya
dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam
dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan
umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar
biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam
menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran
kedua tokoh ini tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan
membagi konsep islamisasi dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R.
al-Faruqi melalui tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan
islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam
islamisasi.
B. Latar Belakang Gagasan
Islamisasi
Gagasan al-Attas tentang islamisasi
ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat
netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu
tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value
laden). Pengetahuan dan ilmu yang
tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah
diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan
adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang
dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang
mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.
Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk
dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[11]
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat
telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).
Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke
derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang
keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa
untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa
kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[12]
Padahal sejatinya, Islam telah
memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang
pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa
sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani.
Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa
klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan,
pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah
dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat
mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan
semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali
untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam
suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai
kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin
diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan,
filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Sedangkan pandangan hidup dalam
Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the
vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah
semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah,
sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler
mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi
realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis
terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Namun, realitas dan kebenaran
dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam
bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama
seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem
teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Dengan demikian, sangat jauh berbeda
antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai
keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala
sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid.
Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi
yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan alasan yang
melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa
umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa
ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang
buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu
kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat
bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki
oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan
semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi
di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang
bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa
umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan
arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap
mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan
dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat
Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya
sebagai “malaisme”. Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang
di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah,
mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan
umat.
Dari situlah kemudian al-Faruqi
berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan
sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka
pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar
serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar
belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya
kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban
yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan
dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua
tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan
menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah
pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi
melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
C. Mafhum Islamisasi
Epistimologi Islam
mengandung seuah konsep yang holistic mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini
tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Pengetahuan
dikaitkan dengan fungsi social dipandang sebuah cirri dari manusia.[13] Islamisasi ilmu dibangun
dari dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-quran. Ilmu yang di dadasari dari ajaran
tauhid, yang melihat bahwa ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus
bergandengan tangan.[14]
Bagi al-Attas, pendefinisian
Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara umum. Yaitu
Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi
magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi
sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani
sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia
yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan
sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan
atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai
pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan
kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka,
islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang
didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan
manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna
Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi
pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis
(magical), mitologis (mythology), animisme (animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari
sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya
sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya
sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada
gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu
proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian
kepada fitrah (original nature).
Sedangkan menurut Ismail R.
al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu
pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu
sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang
berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk
kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Dari mafhum islamisasi ilmu
pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika
al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat
Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan
al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu
itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,
memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin
itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
D. Langkah-Langkah Dalam
Islamisasi
Sedangkan dalam prosesnya,
islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1. Mengisolisir
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri
dari:
a) Akal diandalkan untuk membimbing
kehidupan manusia.
b) Bersikap dualistik terhadap realitas
dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c) Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d) Membela doktrin humanism (the
doctrine of humanism).
e) Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[15]
Unsur-unsur tersebut harus
dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya
dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan
aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan
teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta
aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika,
penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya
berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut
tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan
ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan
teliti.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar
unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing
tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu[16]:
a) Konsep Agama (ad-din)
b) Konsep Manusia (al-insan)
c) Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah)
d) Konsep kearifan (al-hikmah)
e) Konsep keadilan (al-‘adl)
f) Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah
untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang
hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah
utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur
dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan
unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dan untuk memulai kedua proses diatas,
al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini
dibuktikan oleh al-Qur’an.
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi
berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia
mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang
memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip
dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup
Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a.
Keesaan Allah.
b.
Kesatuan alam semesta.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu
tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi.
Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu
merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah
yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Demikian langkah sistematis yang
ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu
pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya, namun
pada intinya, keduanya memiliki visi yang sama.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah
dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed
Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan
subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua,
jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi
ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga,
jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul
di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang
dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat
Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas,
sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi
mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut
yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas
nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).
Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban
yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan
dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut
mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an.
b. Saran
Dalam tulisan ini tentu terdapat kekurangan baik
dari segi referensi maupun argumentasi penulis, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran dari pembaca budiman agar dapat menyempurnakan tulisan ini, dan saya aturkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2007
Abdullah
Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer Yogyakarta:
Jendela, 2003
Hasan
Mu’arif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1995
Http//Definisi lengkap tentang pandangan
hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy
Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia,
majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005
Wan
Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib
Al-Attas, Malaysia: ISTAC, 1998
Muhaimin,
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
http//.Seyyed Hossein Nasr menolak sains
Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif
dalam karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy
Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan
Idjamali (Idjmali Idea). Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic &
Occidental Studis, 2007
http//Prokontra Islamisasi Ilmu di Indonesia, artikel 16-18-2010
Ramayulis dan Sasul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat:
Quantum Teacing, 2005
Ismail
SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Tasman Ya’cub, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta :
The Minangkabau Foundation, 2000
Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo
Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196. Tentang pengaruh Barat ini
dapat dilihat juga dalam bukunya A.M. Saefuddin et al, Desekularisasi
Pemikiran: Landasan Islamisasi Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2007
[1]
Http//Definisi lengkap tentang pandangan
hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy
Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia,
majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, h. 11-12
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia:
ISTAC, 1998), h 298
[3] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi
Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), h. 330
[4] http//.Seyyed Hossein Nasr menolak sains
Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif
dalam karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy
Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan
Idjamali (Idjmali Idea). Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis
Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic &
Occidental Studis, 2007), h. 10
[5] http//Prokontra
Islamisasi Ilmu di Indonesia, artikel
16-18-2010
[6] Ramayulis dan Sasul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam, (Ciputat: Quantum Teacing, 2005), h. 118
[8] Hasan Mu’arif Ambary, Suplemen
Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995), h. 78
[9] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 271-272
[10] Tasman Ya’cub, Modernisasi Pemikiran Islam, (Jakarta :
The Minangkabau Foundation, 2000), h. 122
[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,
Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196. Tentang
pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M. Saefuddin et al, Desekularisasi
Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3), h. 107
[13] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2007), h.228
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h.
409
[15]
Http//.Untuk lebih jelasnya silahkan lihat
dalam al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978),
p. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar