Kamis, 21 Juli 2016

Jurnal Pendidikan "ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN : STUDI PERBANDINGAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI DAN SYAD NAQUIB AL-ATAS"



ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN : STUDI PERBANDINGAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI DAN SYAD NAQUIB AL-ATAS
Oleh : Alde Rado, S.PdI, MA
(Dosen STITNU Sakinah Dharmasraya)

I. Pendahuluan
Islam dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat Muhammad. Islam adalah agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik dari perjalanan seoarang manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengeksplore, menggali kekayaan yang tersembunyi di bumi ini.
Para pemikir Islam, telah mengambil sikap untuk memadukan antara islam dan ilmu pengetahuan, yang diantara tujuannya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya.
Konsep islamisasi ilmu pengetahuan menurut Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi (studi perbandingan) ini bertujuan untuk mengetahui konsep islamisasi ilmu pengetahuan menurut pandangan Syed Naquib al-Attas dan juga konsep islamisasi ilmu pengetahuan menurut pandanngan Ismail Raji al-Faruqi, selain itu juga untuk mengetahui persamaan dan juga perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut.
Untuk lebih lanjutnya penulis akan mencoba untuk menguraikannya pada pemebahasan berikutnya dengan topik Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Studi Perbandingan Ismail Raji al-Faruqi dan Syad Naquib al-Atas.

II. Pembahasan
A. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) merupakan sebuah ide atau gagasan yang muncul pada sekitar awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi.
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)[1] yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[2]
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.[3]
Kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[4]
 Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’  bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al- Faruqi tentang islamisasi.[5]
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW. Di dalam buku Ramayulis dan Samsul Nizar dijelaskan bahwa al Attas termasuk orang yang beruntung secara interen, sebab dari kedua belah pihak ayah dan ibunya merupakan orang berdarah biru, ibunya asli bogor keturunan bangsawan sunda, ayahnya bangsawan bogor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan ketrunan langsung dari nabi Muhammad SAW.[6] 
Secara umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi (Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ al-Attas masuk militer di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dan Ph.D, masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada dan University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).[7]
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Dan selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.[8]
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[9]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Dalam kegiatan hidupnya ia dikenal sebagai seorang yang berbahasa dua bertanah air dua  (Palestina dan Amerika serikat).[10] Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941 di The American University, Beirut. Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan pada tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin, membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya sebagai guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika, al-Faruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986. Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Beberapa karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep islamisasi dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi melalui tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam islamisasi.
B.  Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[11]
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[12]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat.
Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
C.  Mafhum Islamisasi
Epistimologi Islam mengandung seuah konsep yang holistic mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Pengetahuan dikaitkan dengan fungsi social dipandang sebuah cirri dari manusia.[13] Islamisasi ilmu dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam yaitu al-quran. Ilmu yang di dadasari dari ajaran tauhid, yang melihat bahwa ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus bergandengan tangan.[14]
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara umum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
D.  Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a)      Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b)      Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c)      Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d)     Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e)      Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[15]
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.    Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu[16]:
a)      Konsep Agama (ad-din)
b)      Konsep Manusia (al-insan)
c)      Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d)     Konsep kearifan (al-hikmah)
e)      Konsep keadilan (al-‘adl)
f)       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g)      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dan untuk memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an.
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya, namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang sama.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga, jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an.
b. Saran  
Dalam tulisan ini tentu terdapat kekurangan baik dari segi referensi maupun argumentasi penulis, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca budiman agar dapat menyempurnakan tulisan ini, dan saya aturkan terima kasih.
 DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer Yogyakarta: Jendela, 2003
Hasan Mu’arif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995
Http//Definisi lengkap tentang pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas, Malaysia: ISTAC, 1998
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
http//.Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam  karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali (Idjmali Idea).  Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007
http//Prokontra Islamisasi Ilmu di Indonesia, artikel  16-18-2010
Ramayulis dan Sasul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teacing, 2005
Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Tasman Ya’cub, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta : The Minangkabau Foundation, 2000 
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196. Tentang pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M. Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,  Jakarta : Prenada Media, 2007


[1] Http//Definisi lengkap tentang pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, h. 11-12
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia: ISTAC, 1998), h 298
[3] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), h. 330
[4] http//.Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam  karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali (Idjmali Idea).  Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007), h. 10

[5]  http//Prokontra Islamisasi Ilmu di Indonesia, artikel  16-18-2010
[6] Ramayulis dan Sasul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teacing, 2005), h. 118
[7]  http// Wan Daud, The Educational Philosophy…, h. 49
[8] Hasan Mu’arif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995), h. 78
[9] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 271-272
[10] Tasman Ya’cub, Modernisasi Pemikiran Islam, (Jakarta : The Minangkabau Foundation, 2000), h. 122 
[11]  Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 338

[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196. Tentang pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M. Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3), h. 107
[13] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,  (Jakarta : Prenada Media, 2007), h.228
[14]  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 409
[15] Http//.Untuk lebih jelasnya silahkan lihat dalam al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978),  p. 38
[16] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op., Cit., h. 313

Tidak ada komentar:

Posting Komentar