Sabtu, 10 Oktober 2015

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM OLEH ABDUL KARIM AMRULLAH, ABDULLAH AHMAD, DAN RAHMAH EL YUNUSIYYAH





PENDAHULUAN
Islam sebagai agama rahmah senantiasa mengakomodir kebudayaan dan tradisi lokal yang sesuai dan sejalan dengan sumber primer Islam. Keluwesan Islam menjadi lokomotif’ akselerasi pengembangan kawasan, peradaban, dan penganutnya. Begitu pula komitmen terhadap perjuangan kaum dhuafa sangat tinggi, pemberdayaan dan sikap egalitarian, membuat masyarakat cenderung merespon dan empati kepada Islam.
Pada gilirannya, spirit Islam mengakomodir segala bentuk tradisi lokal di berbagai wilayah yang dimasukinya, merekonstruksi kebudayaan Islam yang lebih kaya dan beragam. Bahkan dalam kadar tertentu, penyerapan ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan demikian, akan semakin meneguhkan Islam sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan tempat.
Konsepsi akselerasi Islam berkembang di wilayah Minangkabau, apalagi secara budaya Minangkabau memiliki falsafah yang dekat dengan Islam, seperti dalam ungkapan “adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”. Ungkapan ini menunjukkan sikap akomodatif budaya dan tradisi yang berkembang di Minangkabau. Kehadiran Islam di Minangkabau mendorong percepatan dalam berkembang sampai datang kolonial Hindia Belanda di Minangkabau pada abad ke 16.
Strategi kolonial Hindia Belanda memang memberikan dampak besar bagi eksistensi umat Islam order social. Muslim yang bersatu dapat dibubarkan, muslim yang solid dapat diretakkan, muslim yang berjiwa militan dapat dikendorkan. Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi umat Islam di Minangkabau dalam mengemban dakwah dan pendidikan Islam. Benturan politik dengan Belanda, terdorong masyarakat Minangkabau terpaksa berbenturan fisik dengan Belanda. Olehnya itu, menjadi menarik kiranya dibahas sejarah sosial pendidikan Islam di Minangkabau, mulai dari babak awal perjuangan sampai ke ranah kemodernan.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM OLEH ABDUL KARIM AMRULLAH, ABDULLAH AHMAD, DAN RAHMAH EL YUNUSIYYAH
(Oleh : Alde Rado, S.PdI, M.A. Dosen STITNU Sakinah Dharmasraya)

Lembaga pendidikan yang termasyhur di Minangkabau adalah Surau. Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistim adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Bahkan surau menjadi tempat menginap bagi tamu perantau. Transformasi fungsi surau sebagai tempat rapat, berkumpul, dan sebagainya menjadi lembaga pendidika Islam yang sangat efektif melihat fungsi surau dapat menjadi momentum pembelajaran pendidikan Islam.
Kehadiran surau pertama kali dalam lembaga pendidikan Islam diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, di Ulakan-Pariaman, sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat dapat bersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengembangan lembaga pendidikan surau menjadi pusat transformasi ilmu identik dengan fungsi masjid di zaman Rasulullah, yaitu Surau menjadi term of reference dalam peningkatan kualitas kehidupan bermasyarakat.
Fungsi surau akan semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistim matrilineal, menurut ketentuan adat bahwa laku-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka harus tidur di surau. Surau juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki-laki yang telah baligh dan persinggahan bagi para perantau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis. Dengan demikian, Surau menjadi lembaga pendidikan Islam yang amat penting di Minangkabau.
Lembaga pendidikan Islam di Surau menggunakan sistim halaqah . Ada dua jenjang pendidikan surau, yaitu:
a.       Pengajaran al-Qur’an, yaitu pengenalan huruf hijaiyah, membaca al-Qur’an, melagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab parukunan.
b.      Pengajian Kitab, yaitu ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikhi, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara alumni pendidikan Surau adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad, dan Hamka. Alumni Surau telah banyak berkiprah dalam perjuangan bangsa dan pencerdasan intelektual dan spiritual dari kebodohan dan kejumudan. Sumbangsih Surau kepada bangsa menjadi mainstream pergerakan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam Surau mulai surut peranannya karena disebabkan beberapa hal, yaitu:
a.       Selama perang Padri banyak Surau yang terbakar dan Syekh yang meninggal.
b.      Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari.
c.       Kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah dan takhayul.
Pada tahun 1803, H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piobang pulang dari Mekah (di kala itu Wahabiyah telah duduki Mekah) dan setibanya di kampungnya, ia melarang bermacam-macam kejahatan dan tradisi – yang tidak sesuai dengan Islam yang sempurna, seperti judi sabung ayam, minum tuak dan sebagainya, dan ikut bergabung dalam perang Paderi melawan kaum ‘Adat’ di Kota Lawas. Pembaharuan yang dilakukan kaum Paderi telah merubah paradigma keagamaan masyarakat Minangkabau, terbukti banyaknya didirikan lembaga pendidikan Islam yang bercorak modernis.
A. Abdul Karim Amrullah
Pusat-pusat agama Islam lainnya yang paling awal juga dikembangkan sebagai persaudaraan yang bersifat mistik atau tarekat dan ajarannya juga jauh dengan yang di ajarkan Nabi Muhammad. Tetapi kemudian juga berkembang ajaran Islam yang sebagaimana diterapkan baik di Mekkah maupun Madinah. Lalu kita mengenal dalam catatan sejarah apa yang di sebut gerakan Wahabi ( di Sumatra Barat), Perang Padri. Gerakan (Wahabi) yang berkembang di Arab lalu muncul di nusantara (sumbar) dalam rangka pembersihan ajaran-ajaran Islam yang melenceng dari yang di ajarkan Rasulullah. Terjadilah “reformasi” Islam. Maka muncullah seorang tokoh reformis Islam yang fanatik, Abdul Karim Amrullah.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dikampung Kepala Kebun, Jorong Betung Panjang, Nagarai Sungai Batang, maninjau dalam luhak Agam,  Sumatra Barat, pada 17 Safar 1296 atau 10 Februari 1879. Dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang religious membuat Abdul Karim Amrullah terbiasa sejak dini untuk menjalankan ibadah. Ayahnya seorang ulama terhormat didaerahnya sekaligus pemimpin Tarikat Naqsyabandiah, yang bernama Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kissai), seorang ulama besar di Minangkabau saat itu, sedangkan ibunya bernama Tarwasa.[1]
Abdul Karim termasuk anak yang cerdas, semenjak kecil orang tuanya memberikan dasar-dasar agama Islam. Kemudian beliau belajar kepada ulama-ulama yang termasyhur pada waktu itu, seperti Tuanku H. Hud, Tuanku Pakih Samun di Tarusan, Tuanku Muhammad Yusuf di sungai Rotan Pariaman.[2]
Pada tahun 1312 (1894 M) beliau menginjak usia dewasa, Abdul Karim merantau lagi, kali ini ke tanah suci, Mekkah. Disana ia mempelajari Islam lebih kompleks. Mula-mula ia berguru pada seorang imam Masjid al-Haram, Syeikh Muhammad Khatib, ulama dari Minangkabau juga yang telah menetap dan menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam, dan Syekh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syech Usman Serawak dan lain-lain. Beliau belajar selama tujuh tahun di mekkah menuntut ilmu agama dengan sungguh-sungguh.[3]
Gaya belajarnya yang berbeda dari umumnya disana (taqlid) semakin membuat Abdul Karim semakin menunjukkan bahwa dirinya sebagai pemuda Islam yang potensial dan sebagai pembaharu Islam dengan cara mengkritisi cara pendidikan dan pemikiran umat Islam. Seprti konsep merantau tadi, berarti setelah ia berpergian (mencari ilmu) dan kembali lagi ke daerah asal untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran barunya itu. Itu berarti, apa yang diajarkan berbenturan dengan yang sudah ada di kampungnya. Pada saat itu juga ia menikah dengan gadis bernama Raihanah binti Zakaria. Pada 1904 ia kembali lagi ke Mekkah dan kembali lagi ke Minangkabau pada 1906 dan menyandang nama H. Rasul.
Sepulang dari Mekkah, ia gencar dan begitu semangat untuk menyebarkan faham-faham pemikirannya dikampungnya. Walapun menuai protes dari kalangan tradisional, ia tetap menjalankan pemikirannya itu. Hingga ia mendirikan sebuah sekolah modern dengan system pendidikan modern pula dengan nama Sekolah Thawalib.
Pemikirannya tentang pendidikan
1. Kurikulum
Pada awal abad 20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional, dan kurikulum pun masih bersifat tradisional, yang berkisar pada alquran dan pengajian kitab, yang hanya terpaku kepada satu kitab saja.
Abdul Karim Amrullah memiliki gagasan pendidikan yang lebih modernis. Awalnya direvisi kurikulum pendidikan Islam dengan memasukkan pelajaran ‘umum’ ke sekolah. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam ialah ilmu nahwu, syaraf, fiqhi, tafsir, tauhid, hadits, musthalah hadits, mantiq (logika), ma’ani, bayan, badi’, dan ushul fiqhi. Ia menyusun kurikulum berdasarkan tingkat atau kelas, dan sistim pendidikan bersifat klasikal. Beliau membagi murid-murid dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan tingkatan pendidikannya.[4]
Susunan kurikulum pendidikan yang diterapkan saat itu adalah :[5]
1.      Pengajian alquran
2.      Pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu :
1)      Mengakaji nahu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab-kitab : ajrumiah, matan bina, fathul qarib dan sebagainya
2)      Mengkaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab-kitab: sanusi, syekh Khalid (Azhari Asymawi), kailani, fathul mu’in dan sebagainya.
3)      Mengakaji Tauhid, Nahwu, Sharaf. Fiqh, tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab : Kifayatul ‘awam, ibnu ‘Aqil, mahali, Jalalain, Baidlawi dan lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum pendidikan yang digunakan oleh Abdul Karim Amrullah sesuai dengan tingkat satuan pendidikan, walaupun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang perlu analisis lebih mendalam. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti : idlahul mubham, jauhar maknun, ihya ulumuddin dan lain-lain.[6]  

2. Sistem dan metode pembelajaran
Dalam pembelajaran, Abdul Karim Amrullah mengembangkan sistim klasikal dan menggunakan metode diskusi dan Tanya jawab disamping metode hafalan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi, serta murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru. Dengan semangat berdiskusi, berdebat dan bertanya, maka timbul dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri (self activity), dan mengupas persoalan agama lebih mendalam.[7]
Murid menjadi lebih kreatif, berfikir bebas dan berani mengemukakan pendapat, dalam diri murid tertanam jiwa patriotic, sehingga tidak heran kalu akhirnya banyak dari murid dan guru thawalib yang terjun kelapangan politik, menentang penjajah belanda.
3. Organisasi siswa
Abdul Karim Amrullah juga sangat menekankan pentingnya pendidikan berorganisasi pada murid. Murid didorong untuk mengikuti ceramah-ceramah yang terkait dengan organisasi dan mobilisasi. Ia berpandangan bahwa, dengan berorganisasi segala sesuatu akan mudah dicapai, sebaliknya usaha yang bersifat perseorangan tidak terorganisir, parti akan berkesudahan dengan kegagalan.
4. Kitab pegangan guru dan murid (rujukan)
            Pembaharuan dalam kurikulum membawa perobahan daam kitab rujukan, pada tahun 1920 beliau melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan diperguruan Thawalib putra Padang Panjang. Diantara kitab-kitab yang dipakai adalah :
1)      Darul fiqiah
2)      Fiqhul iwadih
3)      Muinul mubin
4)      Bidayatul mujtahidin
5)      Mabadi al-arabiyah
6)      Durusan nahwiyah
7)      Qawaidul lughah arabiyah
8)      Nahwu wadih
9)      Balagahah wadhi
10)  Durusun lugahal-arabiyah
11)  Mutalaah hadisah
12)  Qiraaturrasyidah
13)  Nuhadasah arabiyah
14)  Durusut tauhid
15)  Husnul hamidiyah
16)  Risalatut tauhidi
17)  Khazin
18)  Tafsir Muhammad abduh
19)  Hadis arbain
20)  Muthalah hadis
21)  Mantiqul hadis
22)  Muzakhirat usul fiqh
23)  Albayan[8]
 
B. Abdullah  Ahmad
Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Ayahnya bernama H. Ahmad, seorang ulama Minangkabau dan juga sebagai pedagang kecil.[9]  
Pendidikan Abdullah dimulai dengan mempelajari agama Islam kepada orang tuanya dan beberapa orang guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, ia dimasukkan ke sekolah kelas 2 (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi) di Padang Panjang.
Pada usia 17 tahun (1895), ia berangkat untuk ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji lalu melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama Minangkabau yang bermukim di Makkah. Selama empat tahun belajar di Makkah, Abdullah Ahmad terus mengikuti perkembangan gerakan Wahabiyah yang di gencarkan pada waktu itu. Gerakan ini dilakukan untuk menghapus praktek bid’ah, khurafat dan tahkayul juga masalah taqlid.[10]
Pada tahun 1899 Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Didaerahnya ini ia menggunakan cara mengajar tradisional, yaitu dengan sistim halaqoh.[11]
Pada tahap selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistim pengajaran tradisionalnya dengan sistim sekolah agama (madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Proses belajar mengajar dengan menggunakan sistim klasikal ini menggunakan sarana yang biasa terdapat pada sekolah yang dilaksanakan pemerintahan Belanda, seperti meja, bangku dan papan tulis. Keadaan ini mendapat tantangan keras dari kalangan ulama tradisional, karena dianggap meniru cara-cara yang digunakan orang kafir. Karena tantangan ini begitu kuat, maka Abdullah memutuskan untuk pindah ke Padang pada tahun 1906 dan disana ia menjadi guru di Masjid Raya Ganting, menggantikan pamannya Syaikh Abdul Halim yang meninggal dunia.

Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad
Konsep atau ide-ide yang dikemukakan Abdullah Ahmad paling kurang meliputi tiga aspek yang fundamental, yaitu aspek kelembagaan, aspek metode, dan aspek kurikulum. Ketiga aspek ini dapat dikemukakan sebagai berikut :[12]
1. Aspek kelembagaan
Salah satu ide pembaharuan pendidikan yang dibawa oleh Abdullah Ahmad adalah bidang kelembagaan atau institusi pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Abdullah mendirikan Sekolah Adabiyah. Untuk mendirikan sekolah ini ia menghubungi beberapa orang yang memiliki pendidikan guru dan juga menghubungi dari kalangan ulama.
Untuk mendukung kegiatan lembaga ini, Abdullah merekrut para pegawai yang berjiwa kebangsaan, yaitu mereka yang memiliki legalitas terhadap pemerintah Belanda dengan tujuan untuk menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi Holands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsch School (HIS), yaitu tingkat pendidikan setaraf dengan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ada sekarang. Di Adabiyah School diajarkan pelajaran agama dan Al-Qur’an sebagai mata pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.
Dengan adanya perubahan tersebut, Adabiyah School mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa dana dan tenaga guru. Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan sekolah ini bertambah dengan berdirinya Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP, dan SMA bahkan ada pula Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta laboratorium komputer.
Kemodernan Lembaga pendidikan Adabiyah ditandai oleh adanya sikap keterbukaan kepada para siswa yang berasal dari berbagai golongan untuk belajar di Adabiyah ini tapi dengan syarat beragama Islam dan dipilihnya guru-guru yang berbobot, setara dengan guru yang mengajar di sekolah Belanda.

2. Aspek Metode Pengajaran[13]
Metode debating club adalah metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad atau yang dikenal dengan nama metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengubah cara lama yang menempatkan para siswa secara pasif dan kurang diberikan kebebasan, sementara waktu dipergunakan lebih banyak oleh guru.
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Menurutnya, bahwa pujian perlu diberikan guru bila anak didiknya memiliki akhlak yang mulia dan jika perlu diberikan hadiah. Bersamaan dengan itu, hukuman juga perlu diberikan jika anak didik bersikap sebaliknya. Namun hukuman ini tidak perlu diberikan secara kasar, karena hukuman semacam ini dapat menghilangkan keberanian yang ada pada diri anak.
Metode lainnya yang perlu diterapkan menurut Abdullah adalah metode bermain dan rekreasi. Menurutnya bahwa anak-anak perlu diberi waktu untuk bermain dan bersenang-senang serta beristirahat dalam proses belajar mengajar yang sedang berlangsung. Karena jika tidak ada waktu beristirahat, dapat merusak prilaku anak yang semula baik, karena bosan dengan kegiatan yang banyak menguras daya pikirnya. Akibat lainnya, hatinya akan mati, pemahamannya terhadap bahan pelajaran yang diberikan akan tumpul serta cahaya akalnya akan padam.

3. Aspek Kurikulum[14]
Rencana pelajaran yang dalam bahasa sekarang disebut kurikulum dijadikan sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu kegiatan pengajaran modern.
Pada lembaga pendidikan tradisional kurikulum tidak disusun secara tersendiri, melainkan dengan cara mengajarkan kitab-kitab yang diajarkan oleh kyai kepada para santrinya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, bahwa sekolah Adabiyah bercorak agama dengan sistim modern. Dari kurikulum yang diterapkan oleh Abdullah adalah konsep kurikulum pendidikan Integrated (Integrated Curriculum of Education), yaitu terpadunya antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan.

C. Rahmah el Yunusiyah

Rahmah el-Yunusiyah merupakan tokoh perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi putri dan sejajar dengan putra. Perjuangan pendidikan bagi perempuan menjadi ‘lokomotif’ bagi peningkatan peran serta perempuan dalam pembangunan dan mengeliminir keterbelakangan. Keterpurukan posisi perempuan (Minangkabau) mendorong Rahmah mendirikan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang pada bulan November 1923.
Rahmah El-Yunusiyyah, lahir di Padang Panjang, pada hari jum’at 1 Rajab 1318 H / 26 Oktober 1900 M, dan wafat pada hari Rabu 9 Zulhijjah 1388 H/ 26 Februari 1969 M. Ia lahir dari pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafiah dan merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya dikenal sebagai kadi di Pandai Sikek yang juga ahli dalam ilmu falak, sementara kakeknya yang bernama Syekh Imaduddin, adalah ulama terkemuka di Minangkabau yang juga tokoh tarekat Naksyabandiah.
Rahmah mendapatkan pendidikan agama dari sang ayah, namun tidak terlalu lama karena ayahnya meninggal dunia beberapa waktu kemudian. Selanjutnya, urusan pendidikan menjadi tanggungjawab kakak-kakaknya yang sudah berusia dewasa. Pelajaran membaca dan menulis misalnya, diberikan dua kakak lelakinya yakni Zainuddin Labay El Yunussy yang juga ulama pembaru serta tokoh pendidikan di Sumbar yang mendirikan Diniyah School dan M. Rasyad, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, dr. Tazar, dr. Abdul Shaleh, dr. Arifin. Dr. Rasjidin, dan dr. Sani’ [15]
Hingga kelas tiga SD, Rahmah tercatat pernah bersekolah di Diniyah School yang dikelola kakaknya itu. Akan tetapi, ia merasa kurang puas dengan sistem pendidikan di sekolah yang dianggapnya tidak bisa memecahkan banyak persoalan, termasuk persoalan wanita. Oleh sebab itu dia lantas menimba ilmu pada sejumlah guru yang ada.
Beberapa ulama yang pernah menjadi gurunya, antara lain H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang Panjang, pengarang kitab fikih Al-Mu'in Al Mubin), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi dan Syekh Daud Rasjidi. Banyak bidang ilmu yang dipelajari dari para tokoh tersebut, selain ilmu agama, juga ilmu kesehatan (kebidanan khususnya) maupun keterampilan kewanitaan semisal memasak, menenun dan menjahit. Dan ilmu-ilmu itulah yang dia turunkan kepada para muridnya dikemudian hari.
Rahmah mendirikan Diniyah Puteri yang bercikal bakal dari pembentukan Madrasah li al Banat (sekolah untuk puteri) pada tanggal 1 Nopember 1923. Pada dua tahun pertama sistem belajar yang diterapkan menggunakan cara halaqah seperti halnya yang dilaksanakan di Masjidil Haram. Para murid duduk bersila di lantai mengelilingi guru yang menghadap ke meja kecil. Dari waktu ke waktu, sekolah ini berkembang cukup pesat, jumlah muridnya terus bertambah. Hingga penerusnya hari ini memoles wajah Diniyah Puteri dengan pendidikan modern.
Perhatian Rahmah bagi kemajuan kaum wanita tidak pernah padam dan hal itu menjadikan dia memiliki harapan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam khusus untuk wanita. Di samping itu dia pun bercita-cita mendirikan rumah sakit khusus wanita. Sejarah mencatat, sebagian cita-citanya ini akhirnya terlaksana. Pada waktu Rahmah meninggal dunia tanggal 26 Pebruari 1969, Diniyah Puteri sudah memiliki perguruan tinggi dengan satu fakultas (Fakultas Dirasah Islamiah).
Rahmah adalah satu-satunya wanita Minangkabau yang menerima gelar Syaikhah dari Universitas Al Azhar Kairo. Lembaga pendidikan yang dikembangkannya pun diduplikat oleh Dr. Syaikh Abdurrahman Taj Rektor Universitas al-Azhar Kairo, menjadi Kulliyah lil Banat. Syaikh Abdurrahman mengunjungi perguruan Rahmah el Yunussiyah pada tahun 1955 dan mengundang Rahmah el Yunussiyah ke al-Azhar pada tahun 1957. 
Perguruan Diniyah Puteri, adalah karya besar dan monumental dari perempuan Islam yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan perempuan Islam dengan guru-guru perempuan di dalamnya. Rahmah el Yunisiyyah benar-benar membuktikan, Islam mampu dijadikan basis gerakan untuk perbaikan situasi dan kondisi perempuan, sebagaimana yang ia cita-citakan. Dan, semua itu telah terwujud

Konsep pendidikan menurut Rahmah Elyunusiyah
Konsepsi pendidikan Rahmah ialah pendidikan untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya, laki-laki dan perempuan yang membedakannya hanyalah taqwa (dalam QS. 49:13). Prinsip ini terrealisasi dalam Madrasah Diniyah Putri dengan menggunakan sistim modern yaitu mengakomodir kurikulum umum untuk diajarkan di sekolah. Secara konfrehensif, Rahmah el-Yunisiyah terlihat jelas dalam konsep ‘tri tunggal pendidikan perempuan’ yaitu pendidikan di sekolah, pendidikan di asrama, dan pendidikan di masyarakat.[16]
Modernisasi kurikulum yang dilakukan rahmah adalah dengan memasukkan mata pelajaran umum pada institusi yang dilakukannya. Inspirator dari sikapnya yang akomodatif terhadap ilmu pengetahuan umum dan mengintegralkannya dengan ilmu pengetahuan agamahal ini sesuai dengan apa yang ditawarkan Muhammad Abduh di Mesir. [17]
Pembaharuan lain yang ditawarkan Rahmah melalui madrasah diniyah putrid adalah menyeimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam aktifitas proses pendidikan. Hal ini tampak dari usahanya untuk memberikan pendidikan keterampilan praktis bagi kaum perempuan. Keterampilan tersebut antara lain : keterampilan memasak, bertenun, industry rumah tangga, olah raga dan p3k kepada peserta didiknya. Jika pemikiran yang dilakukan ini dilihat dari perspektif filsafat pendidikan islam maka terlihat bahwa langkah pembaharuannya merupakan perwujudan teori equilibrium.[18]   

KESIMPULAN

A. Penutup
Dinamika sosial Islam di Minangkabau mengalami perkembangan dengan baik, karena tingginya respon masyarakat terhadap pendidikan, terjadinya interaksi antara tokoh ulama dan pendidik dengan dunia luar, apakah melalui pendidikan di Mekah dan Mesir atau hasil interaksi dengan pemikiran kolonial, yang tentunya memberikan corak berpikir yang dapat berdialektika dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya dinamika pendidikan Islam di Minangkabau cukup baik, yakni awalnya sistim pendidikan surau dengan model halaqah, menjadi sistim pendidikan modern dengan model klasikal, revisi kurikulum dengan penambahan mata pelajaran agama dan diajarkan juga mata pelajaran umum, peningkatan SDM tenaga pendidik, dan dilakukan evaluasi pembelajaran yang menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam.
Ketiga tokoh pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau yang dituangkan pada pembahasan sebelumnya memberikan corak bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam.

B. Saran
Dalam artikel ini tentu terdapat kekurangan baik dari segi referensi maupun argumen penulis, untuk itu sangat dharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang budiman, terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003


Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993

Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Ciputat : Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat : Quantum Teaching, 2005




[1] Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), h. 233
[2]  Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 233-234
[3]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), h. 149
[4] Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 237
[5] Ibid., h. 238
[6] Ibid, h. 238
[7] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), h. 101
[8]  Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 246
[9] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11
[10] Abuddin Nata, Op., Cit., h. 11
[11] Ibid, h. 12
[12] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 161
[13] Abuddin Nata., Op., Cit., h. 163
[14] Abuddin Nata., Op., Cit., h. 165-167
[15]  Ramayulis, Samsul Nizar, Op., C.,  h. 254-255
[16] Ibid., h. 257-259
[17] Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 257
[18] Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 257




Tidak ada komentar:

Posting Komentar