PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama rahmah senantiasa mengakomodir kebudayaan dan tradisi lokal yang
sesuai dan sejalan dengan sumber primer Islam. Keluwesan Islam menjadi lokomotif’
akselerasi pengembangan kawasan, peradaban, dan penganutnya. Begitu pula komitmen
terhadap perjuangan kaum dhuafa sangat tinggi, pemberdayaan dan sikap
egalitarian, membuat masyarakat cenderung merespon dan empati kepada Islam.
Pada
gilirannya, spirit Islam mengakomodir segala bentuk tradisi lokal di berbagai
wilayah yang dimasukinya, merekonstruksi kebudayaan Islam yang lebih kaya dan
beragam. Bahkan dalam kadar tertentu, penyerapan ini menjadi sebuah keniscayaan
yang tidak bisa dipungkiri. Dengan demikian, akan semakin meneguhkan Islam
sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan
tempat.
Konsepsi
akselerasi Islam berkembang di wilayah Minangkabau, apalagi secara budaya
Minangkabau memiliki falsafah yang dekat dengan Islam, seperti dalam ungkapan
“adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”. Ungkapan ini
menunjukkan sikap akomodatif budaya dan tradisi yang berkembang di Minangkabau.
Kehadiran Islam di Minangkabau mendorong percepatan dalam berkembang sampai
datang kolonial Hindia Belanda di Minangkabau pada abad ke 16.
Strategi
kolonial Hindia Belanda memang memberikan dampak besar bagi eksistensi umat
Islam order social. Muslim yang bersatu dapat dibubarkan, muslim yang solid
dapat diretakkan, muslim yang berjiwa militan dapat dikendorkan. Hal tersebut
menjadi tantangan besar bagi umat Islam di Minangkabau dalam mengemban dakwah
dan pendidikan Islam. Benturan politik dengan Belanda, terdorong masyarakat
Minangkabau terpaksa berbenturan fisik dengan Belanda. Olehnya itu, menjadi menarik
kiranya dibahas sejarah sosial pendidikan Islam di Minangkabau, mulai dari babak awal
perjuangan sampai ke ranah kemodernan.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM OLEH
ABDUL KARIM AMRULLAH, ABDULLAH AHMAD, DAN RAHMAH EL YUNUSIYYAH
(Oleh : Alde Rado, S.PdI, M.A. Dosen STITNU Sakinah
Dharmasraya)
Lembaga
pendidikan yang termasyhur di Minangkabau adalah Surau. Istilah surau di
Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistim adat
Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang
berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak
laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Bahkan surau menjadi
tempat menginap bagi tamu perantau. Transformasi fungsi surau sebagai tempat
rapat, berkumpul, dan sebagainya menjadi lembaga pendidika Islam yang sangat
efektif melihat fungsi surau dapat menjadi momentum pembelajaran pendidikan
Islam.
Kehadiran
surau pertama kali dalam lembaga pendidikan Islam diperkenalkan oleh Syekh
Burhanuddin, di Ulakan-Pariaman, sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan
tarekat (suluk), dengan cepat dapat bersosialisasi secara baik dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Pengembangan lembaga pendidikan surau menjadi pusat
transformasi ilmu identik dengan fungsi masjid di zaman Rasulullah, yaitu Surau
menjadi term of reference dalam peningkatan kualitas kehidupan bermasyarakat.
Fungsi
surau akan semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistim matrilineal, menurut ketentuan adat bahwa laku-laki tak punya
kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka harus tidur di surau. Surau
juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki-laki yang telah baligh dan
persinggahan bagi para perantau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat
amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu
pengetahuan maupun ketrampilan praktis. Dengan demikian, Surau menjadi lembaga
pendidikan Islam yang amat penting di Minangkabau.
Lembaga pendidikan Islam di Surau menggunakan sistim halaqah . Ada dua jenjang pendidikan surau, yaitu:
Lembaga pendidikan Islam di Surau menggunakan sistim halaqah . Ada dua jenjang pendidikan surau, yaitu:
a. Pengajaran al-Qur’an, yaitu
pengenalan huruf hijaiyah, membaca al-Qur’an, melagu, kasidah, barzanji,
tajwid, dan kitab parukunan.
b. Pengajian Kitab, yaitu ilmu sharaf
dan nahu, ilmu fikhi, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dalam
posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, surau sangat strategis, baik dalam
proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan
surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan
semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara
alumni pendidikan Surau adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad, dan
Hamka. Alumni Surau telah banyak berkiprah dalam perjuangan bangsa dan
pencerdasan intelektual dan spiritual dari kebodohan dan kejumudan. Sumbangsih
Surau kepada bangsa menjadi mainstream pergerakan dan pergolakan pendidikan
Islam di Nusantara.
Lembaga
pendidikan Islam Surau mulai surut peranannya karena disebabkan beberapa hal,
yaitu:
a. Selama perang Padri banyak Surau
yang terbakar dan Syekh yang meninggal.
b. Belanda mulai memperkenalkan sekolah
nagari.
c. Kaum intelektual muda muslim mulai
mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap
praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah dan takhayul.
Pada tahun
1803, H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piobang pulang dari Mekah (di kala itu
Wahabiyah telah duduki Mekah) dan setibanya di kampungnya, ia melarang
bermacam-macam kejahatan dan tradisi – yang tidak sesuai dengan Islam yang
sempurna, seperti judi sabung ayam, minum tuak dan sebagainya, dan ikut
bergabung dalam perang Paderi melawan kaum ‘Adat’ di Kota Lawas. Pembaharuan
yang dilakukan kaum Paderi telah merubah paradigma keagamaan masyarakat
Minangkabau, terbukti banyaknya didirikan lembaga pendidikan Islam yang
bercorak modernis.
A. Abdul Karim Amrullah
Pusat-pusat agama Islam lainnya yang
paling awal juga dikembangkan sebagai persaudaraan yang bersifat mistik atau
tarekat dan ajarannya juga jauh dengan yang di ajarkan Nabi Muhammad. Tetapi
kemudian juga berkembang ajaran Islam yang sebagaimana diterapkan baik di
Mekkah maupun Madinah. Lalu kita mengenal dalam catatan sejarah apa yang di
sebut gerakan Wahabi ( di Sumatra Barat), Perang Padri. Gerakan (Wahabi) yang
berkembang di Arab lalu muncul di nusantara (sumbar) dalam rangka pembersihan
ajaran-ajaran Islam yang melenceng dari yang di ajarkan Rasulullah. Terjadilah
“reformasi” Islam. Maka muncullah seorang tokoh reformis Islam yang fanatik,
Abdul Karim Amrullah.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan
dikampung Kepala Kebun, Jorong Betung Panjang, Nagarai Sungai Batang, maninjau
dalam luhak Agam, Sumatra Barat, pada 17
Safar 1296 atau 10 Februari 1879. Dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang religious membuat Abdul Karim Amrullah terbiasa
sejak dini untuk menjalankan ibadah. Ayahnya seorang ulama terhormat
didaerahnya sekaligus pemimpin Tarikat Naqsyabandiah, yang bernama Syekh
Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kissai), seorang ulama besar di Minangkabau
saat itu, sedangkan ibunya bernama Tarwasa.[1]
Abdul Karim termasuk anak yang
cerdas, semenjak kecil orang tuanya memberikan dasar-dasar agama Islam.
Kemudian beliau belajar kepada ulama-ulama yang termasyhur pada waktu itu,
seperti Tuanku H. Hud, Tuanku Pakih Samun di Tarusan, Tuanku Muhammad Yusuf di
sungai Rotan Pariaman.[2]
Pada tahun 1312 (1894 M) beliau menginjak
usia dewasa, Abdul Karim merantau lagi, kali ini ke tanah suci, Mekkah. Disana
ia mempelajari Islam lebih kompleks. Mula-mula ia berguru pada seorang imam
Masjid al-Haram, Syeikh Muhammad Khatib, ulama dari Minangkabau juga yang telah
menetap dan menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam, dan Syekh
Muhammad Thahir Jalaluddin, Syech Usman Serawak dan lain-lain. Beliau belajar
selama tujuh tahun di mekkah menuntut ilmu agama dengan sungguh-sungguh.[3]
Gaya belajarnya yang berbeda dari
umumnya disana (taqlid) semakin membuat Abdul Karim semakin menunjukkan bahwa
dirinya sebagai pemuda Islam yang potensial dan sebagai pembaharu Islam dengan
cara mengkritisi cara pendidikan dan pemikiran umat Islam. Seprti konsep
merantau tadi, berarti setelah ia berpergian (mencari ilmu) dan kembali lagi ke
daerah asal untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran barunya itu. Itu berarti, apa
yang diajarkan berbenturan dengan yang sudah ada di kampungnya. Pada saat itu
juga ia menikah dengan gadis bernama Raihanah binti Zakaria. Pada 1904 ia
kembali lagi ke Mekkah dan kembali lagi ke Minangkabau pada 1906 dan menyandang
nama H. Rasul.
Sepulang dari Mekkah, ia gencar dan
begitu semangat untuk menyebarkan faham-faham pemikirannya dikampungnya.
Walapun menuai protes dari kalangan tradisional, ia tetap menjalankan
pemikirannya itu. Hingga ia mendirikan sebuah sekolah modern dengan system pendidikan modern pula dengan
nama Sekolah Thawalib.
Pemikirannya tentang pendidikan
1. Kurikulum
Pada awal abad 20 sistem pendidikan
Islam masih bersifat tradisional, dan kurikulum pun masih bersifat tradisional,
yang berkisar pada alquran dan pengajian kitab, yang hanya terpaku kepada satu
kitab saja.
Abdul Karim Amrullah memiliki
gagasan pendidikan yang lebih modernis. Awalnya direvisi kurikulum pendidikan
Islam dengan memasukkan pelajaran ‘umum’ ke sekolah. Ilmu-ilmu agama dan bahasa
yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam ialah ilmu nahwu, syaraf,
fiqhi, tafsir, tauhid, hadits, musthalah hadits, mantiq (logika), ma’ani,
bayan, badi’, dan ushul fiqhi. Ia menyusun kurikulum berdasarkan tingkat atau
kelas, dan sistim pendidikan bersifat klasikal. Beliau membagi murid-murid
dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan tingkatan pendidikannya.[4]
Susunan kurikulum pendidikan yang
diterapkan saat itu adalah :[5]
1. Pengajian alquran
2. Pengajian kitab yang terdiri atas
beberapa tingkat yaitu :
1) Mengakaji nahu, sharaf dan fiqh
dengan memakai kitab-kitab : ajrumiah, matan bina, fathul qarib dan sebagainya
2) Mengkaji tauhid, nahwu, sharaf dan
fiqh dengan memakai kitab-kitab: sanusi, syekh Khalid (Azhari Asymawi),
kailani, fathul mu’in dan sebagainya.
3) Mengakaji Tauhid, Nahwu, Sharaf.
Fiqh, tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab : Kifayatul ‘awam, ibnu
‘Aqil, mahali, Jalalain, Baidlawi dan lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum
pendidikan yang digunakan oleh Abdul Karim Amrullah sesuai dengan tingkat
satuan pendidikan, walaupun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang
lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang perlu analisis lebih mendalam.
Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu
balaghah, ilmu tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti :
idlahul mubham, jauhar maknun, ihya ulumuddin dan lain-lain.[6]
2. Sistem dan metode pembelajaran
Dalam pembelajaran, Abdul Karim
Amrullah mengembangkan sistim klasikal dan menggunakan metode diskusi dan Tanya
jawab disamping metode hafalan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat
berdiskusi, berpikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi,
serta murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru. Dengan
semangat berdiskusi, berdebat dan bertanya, maka timbul dari diri murid
semangat untuk menggali ilmu sendiri (self activity), dan mengupas persoalan
agama lebih mendalam.[7]
Murid menjadi lebih kreatif,
berfikir bebas dan berani mengemukakan pendapat, dalam diri murid tertanam jiwa
patriotic, sehingga tidak heran kalu akhirnya banyak dari murid dan guru
thawalib yang terjun kelapangan politik, menentang penjajah belanda.
3. Organisasi siswa
Abdul Karim Amrullah juga sangat
menekankan pentingnya pendidikan berorganisasi pada murid. Murid didorong untuk
mengikuti ceramah-ceramah yang terkait dengan organisasi dan mobilisasi. Ia berpandangan
bahwa, dengan berorganisasi segala sesuatu akan mudah dicapai, sebaliknya usaha
yang bersifat perseorangan tidak terorganisir, parti akan berkesudahan dengan
kegagalan.
4. Kitab pegangan guru dan murid (rujukan)
Pembaharuan
dalam kurikulum membawa perobahan daam kitab rujukan, pada tahun 1920 beliau
melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan diperguruan Thawalib putra
Padang Panjang. Diantara kitab-kitab yang dipakai adalah :
1) Darul fiqiah
2) Fiqhul iwadih
3) Muinul mubin
4) Bidayatul mujtahidin
5) Mabadi al-arabiyah
6) Durusan nahwiyah
7) Qawaidul lughah arabiyah
8) Nahwu wadih
9) Balagahah wadhi
10) Durusun lugahal-arabiyah
11) Mutalaah hadisah
12) Qiraaturrasyidah
13) Nuhadasah arabiyah
14) Durusut tauhid
15) Husnul hamidiyah
16) Risalatut tauhidi
17) Khazin
18) Tafsir Muhammad abduh
19) Hadis arbain
20) Muthalah hadis
21) Mantiqul hadis
22) Muzakhirat usul fiqh
23) Albayan[8]
B. Abdullah Ahmad
Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878.
Ayahnya bernama H. Ahmad, seorang ulama Minangkabau dan juga sebagai pedagang
kecil.[9]
Pendidikan Abdullah dimulai dengan mempelajari agama Islam
kepada orang tuanya dan beberapa orang guru yang ada di daerahnya. Setelah
baligh, ia dimasukkan ke sekolah kelas 2 (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum
pribumi) di Padang Panjang.
Pada usia 17 tahun (1895), ia berangkat untuk ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji lalu melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad
Khatib, seorang ulama Minangkabau yang bermukim di Makkah. Selama empat tahun
belajar di Makkah, Abdullah Ahmad terus mengikuti perkembangan gerakan
Wahabiyah yang di gencarkan pada waktu itu. Gerakan ini dilakukan untuk
menghapus praktek bid’ah, khurafat dan tahkayul juga masalah taqlid.[10]
Pada tahun 1899 Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau dan
mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Didaerahnya ini ia
menggunakan cara mengajar tradisional, yaitu dengan sistim halaqoh.[11]
Pada tahap selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistim
pengajaran tradisionalnya dengan sistim sekolah agama (madrasah) yang diberi
nama Adabiyah School. Proses belajar mengajar dengan menggunakan sistim
klasikal ini menggunakan sarana yang biasa terdapat pada sekolah yang
dilaksanakan pemerintahan Belanda, seperti meja, bangku dan papan tulis.
Keadaan ini mendapat tantangan keras dari kalangan ulama tradisional, karena
dianggap meniru cara-cara yang digunakan orang kafir. Karena tantangan ini
begitu kuat, maka Abdullah memutuskan untuk pindah ke Padang pada tahun 1906
dan disana ia menjadi guru di Masjid Raya Ganting, menggantikan pamannya Syaikh
Abdul Halim yang meninggal dunia.
Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad
Konsep atau ide-ide yang dikemukakan Abdullah Ahmad paling
kurang meliputi tiga aspek yang fundamental, yaitu aspek kelembagaan, aspek
metode, dan aspek kurikulum. Ketiga aspek ini dapat dikemukakan sebagai berikut
:[12]
1. Aspek kelembagaan
Salah satu ide pembaharuan pendidikan yang dibawa oleh
Abdullah Ahmad adalah bidang kelembagaan atau institusi pendidikan. Sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa Abdullah mendirikan Sekolah Adabiyah. Untuk
mendirikan sekolah ini ia menghubungi beberapa orang yang memiliki pendidikan
guru dan juga menghubungi dari kalangan ulama.
Untuk mendukung kegiatan lembaga ini, Abdullah merekrut para
pegawai yang berjiwa kebangsaan, yaitu mereka yang memiliki legalitas terhadap
pemerintah Belanda dengan tujuan untuk menghilangkan kecurigaan pemerintah
Belanda.
Pada tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi
Holands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsch School (HIS), yaitu
tingkat pendidikan setaraf dengan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ada sekarang.
Di Adabiyah School diajarkan pelajaran agama dan Al-Qur’an sebagai mata
pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.
Dengan adanya perubahan tersebut, Adabiyah School
mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa dana dan tenaga
guru. Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan sekolah ini bertambah
dengan berdirinya Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP, dan SMA bahkan ada pula
Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta laboratorium komputer.
Kemodernan Lembaga pendidikan Adabiyah ditandai oleh adanya
sikap keterbukaan kepada para siswa yang berasal dari berbagai golongan untuk
belajar di Adabiyah ini tapi dengan syarat beragama Islam dan dipilihnya
guru-guru yang berbobot, setara dengan guru yang mengajar di sekolah Belanda.
2. Aspek Metode Pengajaran[13]
Metode debating club
adalah metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad atau yang dikenal dengan nama
metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal.
Hal ini dilakukan sebagai upaya mengubah cara lama yang menempatkan para siswa
secara pasif dan kurang diberikan kebebasan, sementara waktu dipergunakan lebih
banyak oleh guru.
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian
hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Menurutnya, bahwa
pujian perlu diberikan guru bila anak didiknya memiliki akhlak yang mulia dan
jika perlu diberikan hadiah. Bersamaan dengan itu, hukuman juga perlu diberikan
jika anak didik bersikap sebaliknya. Namun hukuman ini tidak perlu diberikan
secara kasar, karena hukuman semacam ini dapat menghilangkan keberanian yang
ada pada diri anak.
Metode lainnya yang perlu diterapkan menurut Abdullah adalah
metode bermain dan rekreasi. Menurutnya bahwa anak-anak perlu diberi waktu
untuk bermain dan bersenang-senang serta beristirahat dalam proses belajar
mengajar yang sedang berlangsung. Karena jika tidak ada waktu beristirahat,
dapat merusak prilaku anak yang semula baik, karena bosan dengan kegiatan yang
banyak menguras daya pikirnya. Akibat lainnya, hatinya akan mati, pemahamannya
terhadap bahan pelajaran yang diberikan akan tumpul serta cahaya akalnya akan
padam.
3. Aspek Kurikulum[14]
3. Aspek Kurikulum[14]
Rencana pelajaran yang dalam bahasa sekarang disebut
kurikulum dijadikan sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu kegiatan
pengajaran modern.
Pada lembaga pendidikan tradisional kurikulum tidak disusun
secara tersendiri, melainkan dengan cara mengajarkan kitab-kitab yang diajarkan
oleh kyai kepada para santrinya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, bahwa sekolah
Adabiyah bercorak agama dengan sistim modern. Dari kurikulum yang diterapkan
oleh Abdullah adalah konsep kurikulum pendidikan Integrated (Integrated
Curriculum of Education), yaitu terpadunya antara pengetahuan umum dengan
pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan.
C. Rahmah el Yunusiyah
Rahmah el-Yunusiyah merupakan tokoh perempuan yang
memperjuangkan pendidikan bagi putri dan sejajar dengan putra. Perjuangan pendidikan
bagi perempuan menjadi ‘lokomotif’ bagi peningkatan peran serta perempuan dalam
pembangunan dan mengeliminir keterbelakangan. Keterpurukan posisi perempuan
(Minangkabau) mendorong Rahmah mendirikan Perguruan Diniyah Putri Padang
Panjang pada bulan November 1923.
Rahmah
El-Yunusiyyah, lahir di Padang Panjang, pada hari jum’at 1 Rajab 1318 H / 26
Oktober 1900 M, dan wafat pada hari Rabu 9 Zulhijjah 1388 H/ 26 Februari 1969
M. Ia lahir dari pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafiah dan merupakan anak
bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya dikenal sebagai kadi di Pandai Sikek yang
juga ahli dalam ilmu falak, sementara kakeknya yang bernama Syekh Imaduddin,
adalah ulama terkemuka di Minangkabau yang juga tokoh tarekat Naksyabandiah.
Rahmah
mendapatkan pendidikan agama dari sang ayah, namun tidak terlalu lama karena
ayahnya meninggal dunia beberapa waktu kemudian. Selanjutnya, urusan pendidikan
menjadi tanggungjawab kakak-kakaknya yang sudah berusia dewasa. Pelajaran
membaca dan menulis misalnya, diberikan dua kakak lelakinya yakni Zainuddin
Labay El Yunussy yang juga ulama pembaru serta tokoh pendidikan di Sumbar yang
mendirikan Diniyah School dan M. Rasyad, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, dr.
Tazar, dr. Abdul Shaleh, dr. Arifin. Dr. Rasjidin, dan dr. Sani’ [15]
Hingga kelas
tiga SD, Rahmah tercatat pernah bersekolah di Diniyah School yang dikelola
kakaknya itu. Akan tetapi, ia merasa kurang puas dengan sistem pendidikan di
sekolah yang dianggapnya tidak bisa memecahkan banyak persoalan, termasuk
persoalan wanita. Oleh sebab itu dia lantas menimba ilmu pada sejumlah guru
yang ada.
Beberapa ulama
yang pernah menjadi gurunya, antara lain H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya
Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang Panjang,
pengarang kitab fikih Al-Mu'in Al Mubin), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh
Abdul Latif Rasjidi dan Syekh Daud Rasjidi. Banyak bidang ilmu yang dipelajari
dari para tokoh tersebut, selain ilmu agama, juga ilmu kesehatan (kebidanan
khususnya) maupun keterampilan kewanitaan semisal memasak, menenun dan
menjahit. Dan ilmu-ilmu itulah yang dia turunkan kepada para muridnya
dikemudian hari.
Rahmah
mendirikan Diniyah Puteri yang bercikal bakal dari pembentukan Madrasah li al Banat (sekolah untuk puteri) pada
tanggal 1 Nopember 1923. Pada dua tahun pertama sistem belajar yang diterapkan
menggunakan cara halaqah seperti halnya yang dilaksanakan di Masjidil Haram.
Para murid duduk bersila di lantai mengelilingi guru yang menghadap ke meja
kecil. Dari waktu ke waktu, sekolah ini berkembang cukup pesat, jumlah muridnya
terus bertambah. Hingga penerusnya hari ini memoles wajah Diniyah Puteri dengan
pendidikan modern.
Perhatian Rahmah
bagi kemajuan kaum wanita tidak pernah padam dan hal itu menjadikan dia
memiliki harapan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam khusus untuk wanita.
Di samping itu dia pun bercita-cita mendirikan rumah sakit khusus wanita.
Sejarah mencatat, sebagian cita-citanya ini akhirnya terlaksana. Pada waktu
Rahmah meninggal dunia tanggal 26 Pebruari 1969, Diniyah Puteri sudah memiliki
perguruan tinggi dengan satu fakultas (Fakultas Dirasah Islamiah).
Rahmah adalah
satu-satunya wanita Minangkabau yang menerima gelar Syaikhah dari Universitas
Al Azhar Kairo. Lembaga pendidikan yang dikembangkannya pun diduplikat oleh Dr.
Syaikh Abdurrahman Taj Rektor Universitas al-Azhar Kairo, menjadi Kulliyah lil
Banat. Syaikh Abdurrahman mengunjungi perguruan Rahmah el Yunussiyah pada tahun
1955 dan mengundang Rahmah el Yunussiyah ke al-Azhar pada tahun 1957.
Perguruan
Diniyah Puteri, adalah karya besar dan monumental dari perempuan Islam yang
mengabdikan dirinya untuk pendidikan perempuan Islam dengan guru-guru perempuan
di dalamnya. Rahmah el Yunisiyyah benar-benar membuktikan, Islam mampu
dijadikan basis gerakan untuk perbaikan situasi dan kondisi perempuan,
sebagaimana yang ia cita-citakan. Dan, semua itu telah terwujud
Konsep pendidikan menurut Rahmah Elyunusiyah
Konsepsi pendidikan Rahmah ialah pendidikan untuk semua,
baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya, laki-laki dan perempuan yang
membedakannya hanyalah taqwa (dalam QS. 49:13). Prinsip ini terrealisasi dalam
Madrasah Diniyah Putri dengan menggunakan sistim modern yaitu mengakomodir
kurikulum umum untuk diajarkan di sekolah. Secara konfrehensif, Rahmah
el-Yunisiyah terlihat jelas dalam konsep ‘tri tunggal pendidikan perempuan’
yaitu pendidikan di sekolah, pendidikan di asrama, dan pendidikan di
masyarakat.[16]
Modernisasi kurikulum yang dilakukan rahmah adalah dengan
memasukkan mata pelajaran umum pada institusi yang dilakukannya. Inspirator
dari sikapnya yang akomodatif terhadap ilmu pengetahuan umum dan
mengintegralkannya dengan ilmu pengetahuan agamahal ini sesuai dengan apa yang
ditawarkan Muhammad Abduh di Mesir. [17]
Pembaharuan lain yang ditawarkan Rahmah melalui madrasah
diniyah putrid adalah menyeimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
dalam aktifitas proses pendidikan. Hal ini tampak dari usahanya untuk
memberikan pendidikan keterampilan praktis bagi kaum perempuan. Keterampilan
tersebut antara lain : keterampilan memasak, bertenun, industry rumah tangga,
olah raga dan p3k kepada peserta didiknya. Jika pemikiran yang dilakukan ini dilihat
dari perspektif filsafat pendidikan islam maka terlihat bahwa langkah
pembaharuannya merupakan perwujudan teori equilibrium.[18]
KESIMPULAN
A. Penutup
Dinamika sosial Islam di Minangkabau mengalami perkembangan
dengan baik, karena tingginya respon masyarakat terhadap pendidikan, terjadinya
interaksi antara tokoh ulama dan pendidik dengan dunia luar, apakah melalui
pendidikan di Mekah dan Mesir atau hasil interaksi dengan pemikiran kolonial,
yang tentunya memberikan corak berpikir yang dapat berdialektika dengan
perkembangan zaman.
Selanjutnya dinamika pendidikan Islam di Minangkabau cukup
baik, yakni awalnya sistim pendidikan surau dengan model halaqah, menjadi
sistim pendidikan modern dengan model klasikal, revisi kurikulum dengan
penambahan mata pelajaran agama dan diajarkan juga mata pelajaran umum,
peningkatan SDM tenaga pendidik, dan dilakukan evaluasi pembelajaran yang
menjadi tolak
ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam.
Ketiga tokoh pembaharu pendidikan Islam di
Minangkabau yang dituangkan pada pembahasan sebelumnya memberikan corak bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia,
khususnya dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam.
B.
Saran
Dalam artikel ini tentu terdapat kekurangan baik dari segi referensi
maupun argumen penulis, untuk itu sangat dharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang
budiman, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1993
Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Ciputat : Quantum
Teaching, 2005
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan
Islam, Ciputat : Quantum Teaching, 2005
[1]
Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan
Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), h. 233
[2] Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h. 233-234
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1993), h. 149
[4]
Ramayulis, Samsul Nizar, Op.,Cit.,h.
237
[5] Ibid.,
h. 238
[6] Ibid, h. 238
[7]
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan
Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), h. 101
[9]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 11
[10]
Abuddin Nata, Op., Cit., h. 11
[11] Ibid, h. 12
[12]
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam, Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 161
[13]
Abuddin Nata., Op., Cit., h. 163
[14]
Abuddin Nata., Op., Cit., h. 165-167
[15] Ramayulis, Samsul Nizar, Op., C., h. 254-255
[16] Ibid., h. 257-259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar